Inilah sebuah puisi dalam sepenggal kisah :: Aku terkurung beberapa masa sebelum aku memberanikan diri mendaki (red: menurun) ke satu jenjang paling bawah di sebelah napas-napas menanti. Aku hadir dalam puisi yang kubuat tak beraturan.
Lalu puisi yang akan kubuat ini kusebut sebagai ironi-ironi di masa pergolakan dan kunamai Ilusi Takdir
aku tak akan menghampiri jika ia,
yang bernama waktu datang dengan tertatih
memasuki sebuah kata yang dinamakan hati
aku tak akan terguling pada noda-noda
yang dikata buih sebagai cemeti
lantas, aku terseok di gumpalan nama-nama
membatin tak berjanji sudah!!!
aku tak akan mati
meski jemari menghantam kata-kata lewat mimpi
maka kunamakan ilusi takdir
dan aku,
memberantakkan jiwa-jiwa yang jatuh tersohor karena bisuku
Jakarta, Maret 2014
"Teman, aku mengatakan cinta lebih dari sahabat kepada dia yang memotong-motong mimpi di tengah tidurku. Apa kau sanggup mengutarakan janji-janji jika dia berkata janji pada dua musim yang gugur dulu?"
"Aku pernah mengajari namun kini karma mengajariku. Apa harus kusebut karma sebagai guruku?"
ah kamu...
BalasHapus